Jatuh cinta dapat membuat seseorang menjadi penyair dadakan. Kalau keterusan, bisa menjadi penyair sungguhan. Namun yang jelas, seseorang yang sedang jatuh cinta dapat menlis puisi hingga puluhan jumlahnya hanya dalam waktu satu hari. Apalagi jika si pujaan hati memuji puisi yang ditulis. Suasana jatuh cinta memang dapat membuat seseorang menjadi sangat peka atau sensitif. Dapat membuat seseorang dapat mengatasi masalah tanpa masalah, kalau kita meminjam istilah pegadaian. Maka seseorang pun akan mengatakan:
lautan pun akan kuseberangi.
Bahkan seorang penyanyi melantunkan:
Tai kucing pun terasa coklat!
Atau menurut Edy Silitonga pada sebuah lagunya:
Jatuh cinta, berjuta rasanya
Biar siang, biar malam, terbayang wajahnya
Menulis puisi memang mengasyikan. Tanpa kita sadari kita bisa terbuai di dalamnya. Seluruh pikiran dan enerji kita terserap ketika kita menuliskannya. Apalagi jika berhasil menuliskannya. Bukan tidak mungkin kita akan membacanya berulangkali hingga hapal sedetil-detilnya. Tetapi tanpa kita sadari pula, kita bisa bunuh diri dengan puisi itu. Kita bisa mengundang kematian lebih cepat dari apa yang tidak kita inginkan. Benarkah?
Boleh percaya atau tidak
Membaca puisi yang ditulis seseorang dapat membuat kita terpukau. Bahkan tidak jarang membuat bulu kuduk kita berdiri. Kita pun bertanya, kok bisa sih sebagus itu. Kata, tanpa disadari, mempunyai kekuatan hipnotis yang tinggi. Kaum hipnotis menggunakan kata-kata untuk menghipnotis seseorang. Para dukun menggunakan kata pada mantera-manteranya. Bahkan di dalam kitab suci terapat ayat: pada awal mulanya adalah ‘kata’. Atau kitab suci lainnya ‘bacalah’. Di dunia modern, kata menjadi alat yang canggih untuk para politisi untuk beretorika di depan umum dan menghipnotis masanya. Iklan, syair-syair lagu dapat menghipnotis kita. Bahkan hanya dengan satu kata yang tidak menyenangkan dari salah seorang teman dijejaring sosial, kita akan me-remove-nya dari pertemanan kita. Begitru berpengaruh dan besarnya kekuatan kata pada kehidupan kita. Tetapi juga dapat mempengaruhi kematian kita.
Ketika saya menulis sebuah puisi tentang kematian, salah seorang teman penyair tiba-tiba mengingatkan saya:
“Hati-hati menulis puisi tentang maut. Ia bisa datang menjemputmu lebih cepat!” katanya dengan sedikit berkelakar.
Saya agak terkejut juga mendengarnya. Apalagi yang mengatakan hal itu adalah seorang teman penyair yang tergolong senior. Kalau bukan penyair senio, mungkin saya tidak akan terkejut. Sebab, bukan tidak mungkin ia sudah mempunyai pengalaman mengenai hal itu.
“Yang bener, Bang?” kata saya mencoba mencari kesungguhan pada wajahnya. Dan saya mencoba meyakinkan diri saya sepenuhnya dengan mengatakan “Persoalan mati kan di tangan Tuhan, Bang.”
“Betul, soal mati memang di tangan Tuhan,” katanya mencoba menjawab apa yang saya katakan. Tapi dengan menulis puisi seperti itu, berarti kamu dipanggil lebih cepat. Puisi itu tidak ubahnya dengan doa, ” sambungnya lagi.
“Serius, nih, Bang?” Ada perasaan tukut tiba-tiba melanda saya.
“Ya, seriuslah. Rasionalnya begini. Ketika kamu menulis puisi itu, konsentrasi kamu, baik perasaan dan pikiran kamu, semuanya mengarah ketema itu. Dengan kata lain, seluruh enerji kamu ke arah itu. Tanpa sadar, kamu bisa tersugesti sehingga mempengaruhi metabolisme tubuh kamu, sehingga menjadi energi yang negatif. Kamu tahu kan kenapa ketika kamu ke rumah sakit, berobat, dokter kemudian mengatakan kamu tidak apa-apa? Tujuannya juga untuk mensugeti kamu agar sehat. Atau kamu mungkin pernah baca teori Jung pada seseorang, padahal orang itu sehat, tapi kemudian Jung menyarankan orang-orang disekitarnya mengatakan orang itu sakit? Kemudian orang itu benar-benar sakit?” kata teman saya itu panjang lebar.
Saya masih agan tertegun mendengarnya dan mencoba untuk tidak meyakinkan apa yang dikatakannya, hingga membuatnya mengoceh kembali.
“Sekarang begini saja. Coba kamu teliti penulis-penulis yang membicarakan tentang maut atau kematian. Usia mereka rata-rata tidak muda. Chairi Anwar, Amir Hamzah, Kriapur, Hamid Djabar dan lainya, ” katanya dengan tenang.
Saya pun kemudian mencoba melakukan penelitian kecil itu. Saya terkejut dan semua apa yang dikatakan ada benarnya.
Dan meskipun saya tidak percaya sepenuhnya, sejak saat itu, saya segera membuang puisi yang bertema dengan maut atau kematian. Begitu saya menulis dan ada kata maut, segera saya sobek. Saya menepisnya dari seluruh pikiran dan perasaan saya. Sebab, bukan karena takut mati, tapi saya Saya tidak ingin bunuh diri dengan puisi. Dan saya masih ingin seperti yang dikatakan Chairil Anwar: “Aku inging hidup seribu tahun lagi….” Remmy Novaris Dm